PROPOSAL PENELITIAN SISWA DI SMPN 14 KOTA BIMA
Kalau kita melihat sejarahnya, Bima adalah sebuah daerah
dengan bentuk wilayah kerajaan dengan mayoriitas masyarakat bergama Islam. Pada
zaman kerajaan dulu, di daerah Bima dikenal dengan sebuah produk sarung tenun,
yang bernama Tembe Nggoli. Dalam kepercayaan masyarakat Bima, Tembe Nggoli memiliki nilai historis
sejak sebelum masa Kesultanan Bima dan telah mengakar dalam sturktur kehidupan
masyarakat Bima sampai saat ini. Tembe
Nggoli bukanlah sarung tenun biasa. Tembe
Nggoli adalah sebagai simbol masyarakat Bima yang merupakan warisan para
leluhur. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia, Tembe
Nggoli berarti Sarung Nggoli. Dalam Bahasa Bima, Tembe berarti Sarung, Nggoli adalah
jenis kain atau benang sebagai bahan baku sarungnya. Tembe Nggoli merupakan media berpakaian tradisional oleh masyarakat
Bima kala itu (https://bimacenter.com/2020/07/01/dou-mbojo-dan-tembe-
nggoli/).
Selain memiliki sarung tenun tradisionalnya, masyarakat
Bima juga memiliki tradisi berpakaian yang sangat unik, yakni cara berpakaian
dengan gaya Rimpu. Hasil wawancara
awal kami dengan beberapa tokoh dan sesepuh masyarakat Bima, bahwa ternyata
hubungan batin antara Tembe Nggoli dengan
gaya berpakaian Rimpu masyarakat Bima ini sangat kuat. Menurut sumber lain,
pada masa kerajaan dulu kain tenun Tembe
Nggoli ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Bima, karena sudah menjadi penopang
perekonomian masyarakat Bima sampai sekarang. Dulu, pada saat awal masuknya
Islam ke tanah Bima, gaya berpakaian Rimpu
menggunakan sarung Tembe Nggoli ini
menjadi satu-satunya cara berpakaian untuk penutup aurat bagi masyarakat Bima
pada saat itu,
Dalam ajaran Islam terutama bagi kaum perempuan baik bagi
perempuan yang belum menikah maupun bagi yang sudah menikah diwajibkan menutup
auratnya. Sehingga dalam gaya berpakaian Rimpu dalam tradisi adat Bima dikenal
dengan 2 (dua) jenis Rimpu, yakni Rimpu Mpida dan Rimpu Colo. Rimpu Mpida khusus untuk perempuan yang belum menikah,
sedangkan Rimpu Colo dikhususkan untuk perempuan
yang sudah menikah (Hendri Chambert-Loir, Siti Maryam R. Salahuddin, BO’ Sangaji Kai, Jakarta:Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2012). Dan tradisi Rimpu ini masih ada sampai sekarang, misalnya ketika bepergian
berbelanja di pasar atau pada saat
acara-acara kampung mereka masih memakai Rimpu. Bahkan di sekolah kami di SMPN
14 Kota Bima sudah dijadikan seragam sekolah dan diwajibkan memakai Rimpu bagi
perempuan pada setiap hari Sabtu, dan ini
sudah diterapkan sejak tahun 2021.
Berdasarkan sosialisasi oleh pihak sekolah, bahwa kewajiban berpakaian Rimpu ini memiliki berberapa alasan, pertama sebagai salahsatu bentuk upaya mempertahankan dan memperkuat nilai budaya lokal. Kedua, untuk menanamkan nilai karakter pada siswa-siswa akan pentingnya menutup aurat, terutama bagi anak-anak perempuan. Tradisi Rimpu ini juga sudah menjadi agenda tahunan pemerintah daerah berupa Festival dalam rangka mengangkat budaya Rimpu ini sekaligus sebagai ajang promosi bahwa Rimpu ini merupakan pakaian adat masyarakat Bima dengan produk khas sarung Tembe Nggolinya. Kaitannya dengan hal di atas, hipotesa awal kami adalah bahwa dengan memakai sarung Tembe Nggoli akan dapat menurunkan suhu panas pada tubuh seseorang. Menurut kami masalah ini sangat relevan dengan isu global saat ini. Apalagi sampai saat ini berdasarkan informasi terkini, bahwa penyebaran Covid 19 masih ada, dan penderitanya terus bertambah (Sumber Internet: CNBC Indonesia oleh Aristya Rahadian, 12 Juni 2022). Inilah yang melatarbelakangi kami melakukan penelitian, bahwa salahsatu indikasi seseorang terpapar Virus Corona adalah ditandai dengan suhu panas badan tinggi atau demam. Namun itu semua perlu pembuktian lebih lanjut. Untuk itu, kami tim peneliti OPSI SMPN 14 Kota Bima dalam penelitian ini ingin melakukan pengujian secara ilmiah terhadap sarung Tembe Nggoli ini dilihat dari aspek Sosial, Ekonomi dan Kesehatan dengan mengangkat sebuah judul: “Khasiat ‘Tembe Nggoli’ sebagai Warisan Budaya Bima.” (KS, Mitha-Anna). Bersambung.....